Selasa, 10 Mei 2016

Sejarah dan Pemikiran Kaum Murji'ah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Sebagaimana yang telah tercatat dalam sejarah bahwa pada masa pemerintahan Khulafa‘urrasyidin yakni setelah wafatnya Rasulullah Saw., telah terjadi berbagai peristiwa bersejarah yang merupakan bukti bahwa berbagai hal telah terjadi dimasa lalu sebagai pelajaran bagi ummat Islam saat ini untuk membangun, menjaga, serta mengembangkan ajaran syari’at Islam di dunia modern saat ini. Salah satu diantara sekian banyak peristiwa itu adalah
adanya peristiwa tahkim atau kesepakatan damai antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah Bin Abi Sofyan pada saat terjadi perang shiffin.
DR. Muhammad Mahzum dalam bukunya yang berjudul “Tahqiq Mawaqif Ash-Shahabah Fi Al-Fitnah, yang diterjemahkan oleh Drs. Rosihon Anwar, M.Ag dengan judul terjemah “meluruskan Sejarah Islam (studi kritis peristiwa tahkim)” menyebutkan bahwa pada saat terjadi perang shiffin antara khalifah Ali dengan Muawiyyah telah terjadi tahkim yang pada dasarnya diusulkan oleh muawiyyah.
Terjadinya perang shiffin dilatarbelakangi oleh pemberontakan yang dilakukan oleh muawiyyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib karena ia merasa tidak puas atas sikap Ali dalam menangani kasus pembunuhan khalifah Utsman bin Affan ra. Muawiyyah beranggapan bahwa Ali sengaja tidak melaksanakan kewajiban untuk mengqishas para pembunuh Utsman. Itulah sebabnya ia menolak membai’at dan mentaati Ali. Keputusan Muawiyyah untuk tidak mentaati khalifah tetap bertahan hingga berujung pada terjadinya peperangan di shiffin.
Sementara di lain pihak, Ali menganggap bahwa Muawiyyah dan pengikutnya adalah pemberontak karena sikap Muawiyyah yang tidak mau membai’at dan menuruti Ali dan ia juga tidak mau melaksanakan kebijakan politis Ali di syam. Ali berpendapat bahwa bai’atnya telah sah dengan kehadiran kelompok muhajirin dan anshar di Madinah. Dengan kehadiran kedua kelompok itu, maka wajiblah bagi kaum muslimin untuk mengakui kehalifahan Ali. Atas dasar itulah kemudian Ali mengambil keputusan untuk menundukkan Muawiyyah dan para pengikutnya agar kembali dan bersatu dengan kaum muslimin dalam satu barisan, walaupun itu harus dilakukannya dengan menggunakan kekerasan.[1]
Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaiban menyampaikan sebuah riwayat dari Hubaib bin Abi Tsabit sebagaimana dikutip oleh DR. Muhammad Mahzum, yang di dalamnya menceritakan bahwa dalam perang shiffin pasukan Muawiyyah terdesak dan mereka berlindung di sebuah perbukitan. Saat itu Amr bin Ash berkata kepada Muawiyyah “utuslah seseorang kepada Ali dengan membawa mushaf dan ajaklah kembali kepada kitab Allah, niscaya Ia akan mengabulkannya”. Kemudian Muawiyyah mengirim utusannya. Utusan itu datang menemui Ali dan berkata “antara kami dan kalian terdapat kitabullah, tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi al kitab (Taurat). Mereka diseru kepada kitab Allah agar menggunakan kitab itu untuk menetapkan hukum diantara mereka; kemudian sebagian dari mereka berpaling dan mereka selalu membelakangi kebenaran”.
Pada saat itu terjadilah peristiwa tahkim yang menurut catatan sejarah peristiwa itu terjadi pada malam Rabu, 13 hari terakhir bulan shafar tahun 37H. setelah peristiwa itu terjadilah pro dan kontra di kalangan ummat islam sehingga ummat islam terpecah menjadi beberapa golongan dan salah satu diantaranya adalah golongan Murji’ah.

B.   Rumusan Masalah
Adapun permasalahan dalam penulisan makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.      Pengertian kata “Murjiah”
2.      Latar belakang lahirnya kaum Murjiah
3.      Pokok fikiran kaum Murjiah
4.      Posisi kaum Murjiah dalam masalah tahkim

C.   Tujuan Penuliasan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian kata “Murjiah”
2.      Bagaimana Latar belakang lahirnya kaum Murjiah
3.      Apa saja Pokok fikiran kaum Murjiah
4.      Bagaimana Posisi kaum Murjiah dalam masalah tahkim


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian aliran Murjiah
Dari segi bahasa kata “Murjiah” berasal dari kata arja’a atau irjaa yang berarti menangguhkan atau memberi pengharapan. Sedangkan yang dimaksud dengan murjiah disini ialah sebuah aliran dalam Islam yang muncul setelah terjadinya peristiwa tahkim. Kelompok ini adalah kelompok yang memiliki pemahaman berbeda dengan aliran lainnya yakni orang yang melakukan dosa besar tidak dianggap kafir, akan tetapi hukumnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah sampai datang pengadilan Allah pada hari kiamat kelak.
Orang Murjiah adalah orang yang tidak mau ikut terlibat dalam mengkafirkan sesama ummat Islam seperti yang dilakukan oleh kaum khawarij yang mengatakan bahwa semua orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah kafir, dan mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar juga kafir.[2]
Menurut kaum murjiah, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dapat dianggap kafir, akan tetapi tetap muslim dan masih memiliki harapan untuk masuk syurga karena mengenai penghukuman kafir atau mukmin, syurga dan neraka adalah urusan Allah semata. Oleh sebab itu hukumannya harus ditangguhkan sampai datangnya pengadilan Allah pada hari kiamat kelak.

B.     Sejarah Lahirnya Kaum Murjiah
Latar belakang lahirnya aliran murjiah tidak terlepas dari persoalan politik sebagaimana juga dengan lahirnya paham syiah dan khawarij. Bermula dari terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ra., kemudian sampai kepada terjadinya peristiwa tahkim pada saat perang shiffin antara Ali dengan Muawiyyah.
Setelah terjadinya tahkim, ummat islam saat itu terpecah menjadi tiga golongan yakni golongan kaum khawarij, syiah, dan golongan pengikut Muawiyyah.
Golongan khawarij adalah orang-orang yang pada awalnya mendukung Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya karena mereka tidak sependapat dengan Ali dalam hal tahkim. Orang-orang khawarij tidak menginginkan adanya tahkim. Mereka ingin meneruskan peperangan sampai Allah memberikan kejelasan siapakah yang benar antara Ali dengan pengikutnya ataukah Muawiyyah beserta pengikutnya. Menurut kaum khawarij ini, perang lebih utama daripada tahkim. Dalam suatu riwayat diceritakan sebuah dialog yang terjadi anatara Ali dengan kaum khawarij yang isinya dapat difahami tentang bagaimana Ali menerima tawaran tahkim dari pihak Muawiyyah. Pada saat utusan Muawiyyah datang menemui Ali, utusan itu mengatakan “antara kami dan kalian terdapat kitabullah, tidakkah kamu memperhatikan ohrang-orang yang telah diberi al kitab (Taurat). Mereka diseru kepada kitab Allah agar menggunakan kitab itu untuk menetapkan hukum diantara mereka; kemudian sebagian dari mereka berpaling dan mereka selalu membelakangi kebenaran. Ali menjawab, “yan, aku lebih mengetahui”. Pada saat itu datanglah orang-orang khawarij dengan pedang terhunus di pundak mereka dan berkata, “wahai amirul mikminin! Kami sudah tidak sabar lagi untuk menyerang pasukan Muawiyyah yang berlindung di balik bukit, mengapa tidak kita serang saja mereka agar Allah memberi keputusan antara kita dengan mereka?.[3]
Demikian kaum khawarij menentang keputusan khalifah pada waktu itu, mereka lebih mengutamakan kekerasan dari pada jalan damai, mereka lupa bahwa yang berbicara dihadapan mereka itu adalah amirul mikminin, khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Demikian kerasnya kaum khawarij dalam mempertahankan pendapatnya hingga kemudian mereka yang pada awalnya merupakan pendukung Ali berbalik menjadi musuh Ali dan mereka menganggap Ali telah melakukan dosa besar dan menghukum Ali menjadi kafir. Mereka mengatakan bahwa Alki harus bertobat atas dosa besar yang ia lakukan karena menerima tahkim, dan jika tidak maka mereka mengancam akan membunuh Ali.
Berikutnya golongan syiah yakni golongan orang-orang yang mendukung Ali dan setelah terjadinya peristiwa tahkim, mereka semakin mencintai Ali ditambah lagi dengan munculnya golongan khawarij, maka fanatisme kaum syiah terhadap Ali semakin tinggi. Dengan demikian golongan ini muncul tidak terlepas dari pengaruh politik pada masa itu, dan setelah adanya perselisihan dari terjadinya tahkim, mereka terlibat dalam situasi saling mengkafirkan antara kelompok yang satu dengan yang lain. Para pendukung Ali ini juga menganggap bahwa Muawiyyah dan penduduk syam adalah pemberontak harus ditundukkan meskipun harus menggunakan pedang.
Di sisi lain ada kelompok Muawiyyah sebagai pihak yang terlibat langsung dalam peristiwa tahkim. Mereka adalah para pengikut Muawiyyah yang menolak membaiat dan mentaati Ali sebagai khalifah sebelum Ali mengqiashash para pembunuh Utsman, bahkan mereka beranggapan bahwa pengikut Ali yang membunuh Utsman.
Jika dilihat dari segi bagaimana ketiga kelompok ini muncul, semuanya dilatarbelakangi oleh persoalan politik setelah khalifah Utsman mati terbunuh. Setelah itu mereka terlibat dalam suasana saling bermusuhan. Kaum syiah dan khawarij sama-sama memusuhi dan menentang kekuasaan Bani Umayyah, namun dengan sebab yang berbeda. Kaum khawarij menentang bani Umayyah karena menganggap Muawiyyah menyimpang dari ajaran Islam, sedangkan kaum Syiah menentang bani Umayyah karena menganggap mereka telah merampas hak Ali dan keturunannya sebagai khalifah.[4]
Dalam kondisi yang tidak kondusif, dan ummat islam sibuk dengan saling kafir mengkafirkan antara sesama muslim, muncullah sekelompok orang yang tidak ingin ikut terlibat dalam suasana seperti itu. Mereka tidak ingin mengkafirkan sesama muslim terlebih lagi diantara yang diaggap kafir saat itu adalah para sahabat Nabi. Kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai golongan kaum murjiah. Kaum murjiah tidak ingin mengkafirkan Ali dan tidak juga mengkafirkan muawiyyah. Menurut mereka, yang berhak memberi hukuman atas perbuatan dosa itu hanyalah Allah. Oleh sebab itu hukumnya harus ditangguhkan sampai hari kemudian.
Dalam kondisi pertentangan seperti itu, kaum murjiah mengambil jalan dengan bersikap netral. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu adalah sahabat-sahabat Nabi yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh sebab itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, dan mereka memandang lebih baik menunda (arja’a) persoalan-persoalan tersebut sampai ke hari perhitungan di hadapan Tuhan.

C.     Golongan dan Pemikiran Kaum Murjiah
Dalam perkembangannya, golongan murjiah ini secara umum terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan murjiah moderat dan golongan yang ekstrim.[5] Perbedaan tersebut dilihat dari cara pandang dan pemikirannya dalam bidang teologi. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut;
Pertama : Golongan moderat: yaitu golongan yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukan, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosanya, dann oleh sebab itu ia tidak akan masuk neraka sama sekali. Menurut golongan moderat ini orang yang berdosa besar masih tetap mikmin.
Tokoh pada golongan moderat ini termasuk Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali Ibn Abi Thalib, Abu Yusuf, ada juga yang memasukkan imam Abu Hanifah, dan beberapa ahli hadits. Menurut Harun Nasution, Abu hanifah dimasukkan dalam golongan murjiah moderat karena dilihat dari pendapatnya dalam memberikan definisi iman sebagai berikut: iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-rasul-Nya, dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.[6]
Kedua : Golongan Murjiah ekstrim yaitu golongan yang mengatakan bahwa iman itu hanya ada di dalam hati. Apabila seseorang di hatinya telah meyakini tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad rasul Allah, meskipun ia meyatakan kekafiran dengan lidah, menyembah berhala, mengikuti agama Yahudi, dan Nasrani, memuja salib, mengakui trinitas, kemudian mati, orang seperti ini tetap mukmin yang sempurna imannya di sisi Allah dan ia termasuk golongan Ahli Syurga.[7]
Jika dilihat dari pemikirannya dalam masalah iman, golongan ini dapat dianggap berbahaya karna dapat merusak agama disebabkan karena mereka hanya memperhatikan iman tanpa memperhatikan sisi yang lain seperti hukum-hukum syari’at dan akhlak. Jika pemahaman seperti ini berkembang maka sangat besar kemungkinan moral ummat islam akan tercederai.
Dalam perkembangan selanjutnya golongan Murji’ah Ekstrim ini terpecah menjadi beberapa golongan, antara lain:
            a.     Al Jahmiyah
Tokoh pada golongan ini adalah Jahm bin Shafwan. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan ia tidak menjadi kafir, karena iman dan kufr itu di dalam hati, bukan pada bahagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang seperti ini juga tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinity, kemudian mati. Orang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
                b.    Al Shalihiyah
Tokoh golongan ini adalah Abu al Hasan Shalih Ibnu ‘Amar Al Shalih. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Tuhan dan kufr ialah tidak mengenal Tuhan. Menurut golongan ini, sembahyang tidaklah merupakan ibadah kepada Allah, karena yang di sebut ibadah ialah iman kepada-Nya, dalam arti mengenal Tuhan. Lebih dari itu golongan ini berpendapat bahwa sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Yang di sebut ibadah hanyalah iman. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
                c.     Al Yunusiyah
Adalah pengikut Yunus Ibnu ‘Aun Al Numairi. Menurut golongan ini iman ialah mengenal Allah, hati tunduk pada-Nya, meninggalkan rasa takabbur, dan mencintai-Nya dalm hati. Apalagi yang tersebut ini terhimpun pada diri seseorang maka ia adalah seorang mukmin. Sedangkan yang sealin dari itu bukanlah termasuk iman. Oleh karena di dalam pandangan kaum Murji’ah, yang di sebut Iman  itu hanyalah mengenal Tuhan, golongan Al Yunusiyah berkesimpulan bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidak merusak iman seseorang.
                d.    Al Ubaidiyah
Golongan ini adalah pengikut ‘Ubaid Ibnu Mahran Al Muktab. Dan dalm pandangan golongan ini ,mereka berpandapat jika seseorang mati dalam keadaaan beriman, dosa-dosa dsan perbutan jahat yang di kerjakan tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak akan merubah atau memperbaiki kedudukan orang yang musrik atau orang yang kafir.


                e.     Al Khassaniyah
Adalah pengikut Ghassan Al Kufi. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Allah dan Rasul-Nya serta mengakui apa yang di turunkan Allah kepada Rasul secara global, tidak secara rinci. Iman itu bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Selain itu golonagn ini juga berpendapat, jiak seseorang mengatakan: “saya tahu bahwa Tuhan Mengharamkan memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah itu adalah kambing ini atau yang selainya”, maka orang tersebut tetap mukmin. Dan jika seseorang mengatakan: “ Saya tahu bahwa tuhan mewajibkan haji ke Ka’anh, tetapi saya tidak tahudimana letaknya ka’bah itu, apakah di India atau di tempat lain”,  orang demikian juga tetap mukmin.[8]
D.    Posisi kaum Murji’ah dalam masalah tahkim
Sikap yang diambil oleh kaum Murji’ah dalam masalah tahkim menjadi gambaran yang jelas tentang bagaimana posisi mereka dalam permasalahn itu. Mereka tidak sepakat dengan kaum khawarij yang mengutuk Ali bin Abi Thalib denagn menganggapnya kafir dan boleh dibunuh dan menganggap Muawiyyah juga kafir karena telah menyimpang dari aturan Allah karena tidak mau membai’at dan mentaati Ali sebagai khalifah. Mereka juag tidak sepakat dengan kaum syiah yang menganggap muawiyyah adalah pelaku dosa besar sebagai pemberontak dan harus ditundukkan meskipun harus dengan menggunakan pedang.
Dalam masalah ini kaum murji’ah memposisikan diri diantara dua kelompok yang berselisih saat itu dengan mengatakan bahwa para sahabat yang berselisih saat itu adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Oleh karena itu hukum bagi mereka diserahkan sepenuhnya kepada Allah dan ditangguhkan sampai hari kiamat.
Dr. Muhammad Mahzum dalam bukunya menyimpulkan bahwa para pengikut Murji’ah tidak mampu mendeskripsikan fakta yang sebenarnya.karena itu mereka tidak mampu menyeleksi dua kecenderungan yang kontradiktif sehingga mereka memposisikan diri dalam penilaiannya di tengah-tengah dua pendapat yang sedang bertikai.[9]

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Murji’ah adalah aliran dalam islam yang munculnya dilatarbelakangi oleh situasi politik setelah terbunuhnya Utsman bin Affan hingga menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa sejarah diantaranya yaitu perang shiffin dan peristiwa tahkim.
Dalam perkembangannya kelompok Murji’ah menjadi satu aliran dalam ilmu kalam karena mereka memiliki pendapat tentang keimanan dan pelaku dosa besar. Pendapat mereka yang sangat mendasar adalah iman itu tempatnya di dalam hati, bukan pada bagian tubuh yang lain, dan iman itu tidak dapat bertambah atau berkurang. Mengenai pelaku dosa besar tidak dapat dihukum kafir karena untuk menghukumi kafir adalah hak Allah sepenuhnya.



[1] DR. Muhammad Mahzum, Meluruskan Sejarah Islam Studi Kritis Peristiwa Tahkim, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal.41
[2] Dr. Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, Antasari Press, Banjarmasin, 2008, hal. 58
[3] DR Muhammad Mahzum, Op.Cit. hal. 26
[4] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta, 2009, hal.24.
[5] Ibid, hal. 26
[6] Ibid, hal. 27
[9] DR. Muhammad Mahzum, Op.Cit. hal 73.

Tidak ada komentar: