BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Sebagaimana yang telah tercatat dalam
sejarah bahwa pada masa pemerintahan Khulafa‘urrasyidin yakni setelah wafatnya
Rasulullah Saw., telah terjadi berbagai peristiwa bersejarah yang merupakan
bukti bahwa berbagai hal telah terjadi dimasa lalu sebagai pelajaran bagi ummat
Islam saat ini untuk membangun, menjaga, serta mengembangkan ajaran syari’at
Islam di dunia modern saat ini. Salah satu diantara sekian banyak peristiwa itu
adalah
adanya peristiwa tahkim atau kesepakatan damai antara Ali bin Abi Thalib
dengan Muawiyyah Bin Abi Sofyan pada saat terjadi perang shiffin.
DR. Muhammad Mahzum dalam bukunya yang
berjudul “Tahqiq Mawaqif Ash-Shahabah Fi Al-Fitnah, yang diterjemahkan oleh
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag dengan judul terjemah “meluruskan Sejarah Islam (studi
kritis peristiwa tahkim)” menyebutkan bahwa pada saat terjadi perang shiffin
antara khalifah Ali dengan Muawiyyah telah terjadi tahkim yang pada
dasarnya diusulkan oleh muawiyyah.
Terjadinya perang shiffin dilatarbelakangi oleh pemberontakan
yang dilakukan oleh muawiyyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib karena
ia merasa tidak puas atas sikap Ali dalam menangani kasus pembunuhan khalifah
Utsman bin Affan ra. Muawiyyah beranggapan bahwa Ali sengaja tidak melaksanakan
kewajiban untuk mengqishas para pembunuh Utsman. Itulah sebabnya ia menolak
membai’at dan mentaati Ali. Keputusan Muawiyyah untuk tidak mentaati khalifah
tetap bertahan hingga berujung pada terjadinya peperangan di shiffin.
Sementara di lain pihak, Ali menganggap bahwa Muawiyyah dan
pengikutnya adalah pemberontak karena sikap Muawiyyah yang tidak mau membai’at
dan menuruti Ali dan ia juga tidak mau melaksanakan kebijakan politis Ali di
syam. Ali berpendapat bahwa bai’atnya telah sah dengan kehadiran kelompok
muhajirin dan anshar di Madinah. Dengan kehadiran kedua kelompok itu, maka
wajiblah bagi kaum muslimin untuk mengakui kehalifahan Ali. Atas dasar itulah
kemudian Ali mengambil keputusan untuk menundukkan Muawiyyah dan para
pengikutnya agar kembali dan bersatu dengan kaum muslimin dalam satu barisan,
walaupun itu harus dilakukannya dengan menggunakan kekerasan.[1]
Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaiban menyampaikan sebuah riwayat
dari Hubaib bin Abi Tsabit sebagaimana dikutip oleh DR. Muhammad Mahzum, yang
di dalamnya menceritakan bahwa dalam perang shiffin pasukan Muawiyyah terdesak
dan mereka berlindung di sebuah perbukitan. Saat itu Amr bin Ash berkata kepada
Muawiyyah “utuslah seseorang kepada Ali
dengan membawa mushaf dan ajaklah kembali kepada kitab Allah, niscaya Ia akan
mengabulkannya”. Kemudian Muawiyyah mengirim utusannya. Utusan itu datang
menemui Ali dan berkata “antara kami dan
kalian terdapat kitabullah, tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah
diberi al kitab (Taurat). Mereka diseru kepada kitab Allah agar menggunakan
kitab itu untuk menetapkan hukum diantara mereka; kemudian sebagian dari mereka
berpaling dan mereka selalu membelakangi kebenaran”.
Pada saat itu terjadilah peristiwa tahkim yang menurut
catatan sejarah peristiwa itu terjadi pada malam Rabu, 13 hari terakhir bulan
shafar tahun 37H. setelah peristiwa itu terjadilah pro dan kontra di kalangan
ummat islam sehingga ummat islam terpecah menjadi beberapa golongan dan salah
satu diantaranya adalah golongan Murji’ah.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan dalam penulisan makalah ini dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Pengertian kata
“Murjiah”
2.
Latar belakang lahirnya
kaum Murjiah
3.
Pokok fikiran kaum
Murjiah
4.
Posisi kaum Murjiah
dalam masalah tahkim
C. Tujuan Penuliasan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa Pengertian kata
“Murjiah”
2.
Bagaimana Latar
belakang lahirnya kaum Murjiah
3.
Apa saja Pokok fikiran
kaum Murjiah
4.
Bagaimana Posisi kaum
Murjiah dalam masalah tahkim
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian aliran
Murjiah
Dari
segi bahasa kata “Murjiah” berasal dari kata arja’a atau irjaa yang
berarti menangguhkan atau memberi pengharapan. Sedangkan yang dimaksud dengan
murjiah disini ialah sebuah aliran dalam Islam yang muncul setelah terjadinya
peristiwa tahkim. Kelompok ini adalah kelompok yang memiliki pemahaman berbeda
dengan aliran lainnya yakni orang yang melakukan dosa besar tidak dianggap
kafir, akan tetapi hukumnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah sampai datang
pengadilan Allah pada hari kiamat kelak.
Orang
Murjiah adalah orang yang tidak mau ikut terlibat dalam mengkafirkan sesama
ummat Islam seperti yang dilakukan oleh kaum khawarij yang mengatakan bahwa
semua orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah kafir, dan mengatakan
bahwa orang yang melakukan dosa besar juga kafir.[2]
Menurut kaum murjiah, orang Islam yang melakukan dosa besar
tidak dapat dianggap kafir, akan tetapi tetap muslim dan masih memiliki harapan
untuk masuk syurga karena mengenai penghukuman kafir atau mukmin, syurga dan
neraka adalah urusan Allah semata. Oleh sebab itu hukumannya harus ditangguhkan
sampai datangnya pengadilan Allah pada hari kiamat kelak.
B.
Sejarah Lahirnya Kaum
Murjiah
Latar
belakang lahirnya aliran murjiah tidak terlepas dari persoalan politik
sebagaimana juga dengan lahirnya paham syiah dan khawarij. Bermula dari
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ra., kemudian sampai kepada terjadinya
peristiwa tahkim pada saat perang shiffin antara Ali dengan Muawiyyah.
Setelah
terjadinya tahkim, ummat islam saat itu terpecah menjadi tiga golongan yakni
golongan kaum khawarij, syiah, dan golongan pengikut Muawiyyah.
Golongan
khawarij adalah orang-orang yang pada awalnya mendukung Ali, tetapi kemudian
berbalik menjadi musuhnya karena mereka tidak sependapat dengan Ali dalam hal
tahkim. Orang-orang khawarij tidak menginginkan adanya tahkim. Mereka ingin
meneruskan peperangan sampai Allah memberikan kejelasan siapakah yang benar antara
Ali dengan pengikutnya ataukah Muawiyyah beserta pengikutnya. Menurut kaum
khawarij ini, perang lebih utama daripada tahkim. Dalam suatu riwayat
diceritakan sebuah dialog yang terjadi anatara Ali dengan kaum khawarij yang
isinya dapat difahami tentang bagaimana Ali menerima tawaran tahkim dari pihak
Muawiyyah. Pada saat utusan Muawiyyah datang menemui Ali, utusan itu mengatakan
“antara kami dan kalian terdapat
kitabullah, tidakkah kamu memperhatikan ohrang-orang yang telah diberi al kitab
(Taurat). Mereka diseru kepada kitab Allah agar menggunakan kitab itu untuk
menetapkan hukum diantara mereka; kemudian sebagian dari mereka berpaling dan
mereka selalu membelakangi kebenaran. Ali menjawab, “yan, aku lebih
mengetahui”. Pada saat itu datanglah orang-orang khawarij dengan pedang
terhunus di pundak mereka dan berkata, “wahai amirul mikminin! Kami sudah tidak
sabar lagi untuk menyerang pasukan Muawiyyah yang berlindung di balik bukit,
mengapa tidak kita serang saja mereka agar Allah memberi keputusan antara kita
dengan mereka?.[3]
Demikian
kaum khawarij menentang keputusan khalifah pada waktu itu, mereka lebih
mengutamakan kekerasan dari pada jalan damai, mereka lupa bahwa yang berbicara
dihadapan mereka itu adalah amirul mikminin, khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Demikian
kerasnya kaum khawarij dalam mempertahankan pendapatnya hingga kemudian mereka
yang pada awalnya merupakan pendukung Ali berbalik menjadi musuh Ali dan mereka
menganggap Ali telah melakukan dosa besar dan menghukum Ali menjadi kafir.
Mereka mengatakan bahwa Alki harus bertobat atas dosa besar yang ia lakukan
karena menerima tahkim, dan jika tidak maka mereka mengancam akan membunuh Ali.
Berikutnya
golongan syiah yakni golongan orang-orang yang mendukung Ali dan setelah
terjadinya peristiwa tahkim, mereka semakin mencintai Ali ditambah lagi dengan
munculnya golongan khawarij, maka fanatisme kaum syiah terhadap Ali semakin
tinggi. Dengan demikian golongan ini muncul tidak terlepas dari pengaruh
politik pada masa itu, dan setelah adanya perselisihan dari terjadinya tahkim,
mereka terlibat dalam situasi saling mengkafirkan antara kelompok yang satu
dengan yang lain. Para pendukung Ali ini juga menganggap bahwa Muawiyyah dan
penduduk syam adalah pemberontak harus ditundukkan meskipun harus menggunakan pedang.
Di
sisi lain ada kelompok Muawiyyah sebagai pihak yang terlibat langsung dalam
peristiwa tahkim. Mereka adalah para pengikut Muawiyyah yang menolak membaiat
dan mentaati Ali sebagai khalifah sebelum Ali mengqiashash para pembunuh
Utsman, bahkan mereka beranggapan bahwa pengikut Ali yang membunuh Utsman.
Jika
dilihat dari segi bagaimana ketiga kelompok ini muncul, semuanya
dilatarbelakangi oleh persoalan politik setelah khalifah Utsman mati terbunuh.
Setelah itu mereka terlibat dalam suasana saling bermusuhan. Kaum syiah dan
khawarij sama-sama memusuhi dan menentang kekuasaan Bani Umayyah, namun dengan
sebab yang berbeda. Kaum khawarij menentang bani Umayyah karena menganggap
Muawiyyah menyimpang dari ajaran Islam, sedangkan kaum Syiah menentang bani Umayyah
karena menganggap mereka telah merampas hak Ali dan keturunannya sebagai
khalifah.[4]
Dalam
kondisi yang tidak kondusif, dan ummat islam sibuk dengan saling kafir
mengkafirkan antara sesama muslim, muncullah sekelompok orang yang tidak ingin
ikut terlibat dalam suasana seperti itu. Mereka tidak ingin mengkafirkan sesama
muslim terlebih lagi diantara yang diaggap kafir saat itu adalah para sahabat
Nabi. Kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai golongan kaum murjiah. Kaum
murjiah tidak ingin mengkafirkan Ali dan tidak juga mengkafirkan muawiyyah.
Menurut mereka, yang berhak memberi hukuman atas perbuatan dosa itu hanyalah
Allah. Oleh sebab itu hukumnya harus ditangguhkan sampai hari kemudian.
Dalam kondisi
pertentangan seperti itu, kaum murjiah mengambil jalan dengan bersikap netral.
Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu adalah sahabat-sahabat Nabi
yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh sebab itu
mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang
salah, dan mereka memandang lebih baik menunda (arja’a) persoalan-persoalan tersebut sampai ke hari perhitungan di
hadapan Tuhan.
C.
Golongan dan Pemikiran
Kaum Murjiah
Dalam
perkembangannya, golongan murjiah ini secara umum terbagi menjadi dua golongan
yaitu golongan murjiah moderat dan golongan yang ekstrim.[5]
Perbedaan tersebut dilihat dari cara pandang dan pemikirannya dalam bidang
teologi. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut;
Pertama : Golongan moderat:
yaitu golongan yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir
dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan
besarnya dosa yang dilakukan, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni
dosanya, dann oleh sebab itu ia tidak akan masuk neraka sama sekali. Menurut
golongan moderat ini orang yang berdosa besar masih tetap mikmin.
Tokoh
pada golongan moderat ini termasuk Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali Ibn Abi
Thalib, Abu Yusuf, ada juga yang memasukkan imam Abu Hanifah, dan beberapa ahli
hadits. Menurut Harun Nasution, Abu hanifah dimasukkan dalam golongan murjiah
moderat karena dilihat dari pendapatnya dalam memberikan definisi iman sebagai
berikut: iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang
Rasul-rasul-Nya, dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam
keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah
atau berkurang dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.[6]
Kedua : Golongan
Murjiah ekstrim yaitu golongan yang mengatakan bahwa iman itu hanya ada di
dalam hati. Apabila seseorang di hatinya telah meyakini tidak ada
tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad rasul Allah, meskipun ia meyatakan
kekafiran dengan lidah, menyembah berhala, mengikuti agama Yahudi, dan Nasrani,
memuja salib, mengakui trinitas, kemudian mati, orang seperti ini tetap mukmin
yang sempurna imannya di sisi Allah dan ia termasuk golongan Ahli Syurga.[7]
Jika dilihat dari
pemikirannya dalam masalah iman, golongan ini dapat dianggap berbahaya karna
dapat merusak agama disebabkan karena mereka hanya memperhatikan iman tanpa
memperhatikan sisi yang lain seperti hukum-hukum syari’at dan akhlak. Jika
pemahaman seperti ini berkembang maka sangat besar kemungkinan moral ummat
islam akan tercederai.
Dalam perkembangan selanjutnya
golongan Murji’ah Ekstrim ini
terpecah menjadi beberapa
golongan, antara lain:
a. Al Jahmiyah
Tokoh pada golongan ini adalah Jahm bin
Shafwan. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan
dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan ia tidak menjadi kafir, karena
iman dan kufr itu di dalam hati,
bukan pada bahagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang seperti ini juga tidak
menjadi kafir,
sungguhpun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran agama
Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinity, kemudian mati. Orang demikian
bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
b. Al Shalihiyah
Tokoh golongan ini adalah Abu al
Hasan Shalih Ibnu ‘Amar Al Shalih. Golongan ini berpendapat, iman ialah
mengenal Tuhan dan kufr ialah tidak mengenal Tuhan. Menurut golongan ini,
sembahyang tidaklah merupakan ibadah kepada Allah, karena yang di sebut ibadah
ialah iman kepada-Nya, dalam arti mengenal Tuhan. Lebih dari itu golongan ini
berpendapat bahwa sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan
kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Yang di sebut ibadah
hanyalah iman. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
c. Al Yunusiyah
Adalah pengikut
Yunus Ibnu ‘Aun Al Numairi. Menurut golongan ini iman ialah mengenal Allah,
hati tunduk pada-Nya, meninggalkan rasa takabbur, dan mencintai-Nya dalm hati.
Apalagi yang tersebut ini terhimpun pada diri seseorang maka ia adalah seorang
mukmin. Sedangkan yang sealin dari itu bukanlah termasuk iman. Oleh karena di
dalam pandangan kaum Murji’ah, yang di sebut Iman itu hanyalah mengenal Tuhan, golongan Al
Yunusiyah berkesimpulan bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat
tidak merusak iman seseorang.
d. Al Ubaidiyah
Golongan ini
adalah pengikut ‘Ubaid Ibnu Mahran Al Muktab. Dan dalm pandangan golongan ini
,mereka berpandapat jika seseorang mati dalam keadaaan beriman, dosa-dosa dsan
perbutan jahat yang di kerjakan tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.
Perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan
baik, banyak atau sedikit, tidak akan merubah atau memperbaiki kedudukan orang
yang musrik atau orang yang kafir.
e. Al Khassaniyah
Adalah pengikut
Ghassan Al Kufi. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Allah dan
Rasul-Nya serta mengakui apa yang di turunkan Allah kepada Rasul secara global,
tidak secara rinci. Iman itu bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Selain
itu golonagn ini juga berpendapat, jiak seseorang mengatakan: “saya tahu bahwa
Tuhan Mengharamkan memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang
diharamkan itu adalah itu adalah kambing ini atau yang selainya”, maka orang tersebut
tetap mukmin. Dan jika seseorang mengatakan: “ Saya tahu bahwa tuhan mewajibkan
haji ke Ka’anh, tetapi saya tidak tahudimana letaknya ka’bah itu, apakah di
India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap
mukmin.[8]
D.
Posisi kaum Murji’ah
dalam masalah tahkim
Sikap
yang diambil oleh kaum Murji’ah dalam masalah tahkim menjadi gambaran yang
jelas tentang bagaimana posisi mereka dalam permasalahn itu. Mereka tidak
sepakat dengan kaum khawarij yang mengutuk Ali bin Abi Thalib denagn
menganggapnya kafir dan boleh dibunuh dan menganggap Muawiyyah juga kafir
karena telah menyimpang dari aturan Allah karena tidak mau membai’at dan
mentaati Ali sebagai khalifah. Mereka juag tidak sepakat dengan kaum syiah yang
menganggap muawiyyah adalah pelaku dosa besar sebagai pemberontak dan harus
ditundukkan meskipun harus dengan menggunakan pedang.
Dalam
masalah ini kaum murji’ah memposisikan diri diantara dua kelompok yang
berselisih saat itu dengan mengatakan bahwa para sahabat yang berselisih saat
itu adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Oleh karena itu hukum bagi mereka
diserahkan sepenuhnya kepada Allah dan ditangguhkan sampai hari kiamat.
Dr.
Muhammad Mahzum dalam bukunya menyimpulkan bahwa para pengikut Murji’ah tidak
mampu mendeskripsikan fakta yang sebenarnya.karena itu mereka tidak mampu
menyeleksi dua kecenderungan yang kontradiktif sehingga mereka memposisikan
diri dalam penilaiannya di tengah-tengah dua pendapat yang sedang bertikai.[9]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa Murji’ah adalah aliran dalam islam yang
munculnya dilatarbelakangi oleh situasi politik setelah terbunuhnya Utsman bin
Affan hingga menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa sejarah diantaranya
yaitu perang shiffin dan peristiwa tahkim.
Dalam
perkembangannya kelompok Murji’ah menjadi satu aliran dalam ilmu kalam karena
mereka memiliki pendapat tentang keimanan dan pelaku dosa besar. Pendapat
mereka yang sangat mendasar adalah iman itu tempatnya di dalam hati, bukan pada
bagian tubuh yang lain, dan iman itu tidak dapat bertambah atau berkurang.
Mengenai pelaku dosa besar tidak dapat dihukum kafir karena untuk menghukumi
kafir adalah hak Allah sepenuhnya.
[1]
DR. Muhammad Mahzum, Meluruskan Sejarah
Islam Studi Kritis Peristiwa Tahkim, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal.41
[2]
Dr. Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran
Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, Antasari Press, Banjarmasin, 2008,
hal. 58
[3] DR
Muhammad Mahzum, Op.Cit. hal. 26
[4]
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta, 2009, hal.24.
[5] Ibid, hal. 26
[6] Ibid, hal. 27
[9]
DR. Muhammad Mahzum, Op.Cit. hal 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar